“Mengganti seluruhnya sumber energi tradisional dengan energi terbarukan akan menjadi tugas yang menantang. Namun, dengan menambahkan energi terbarukan ke dalam jaringan listrik dan secara bertahap meningkatkan kontribusinya, secara realistis dapat mengharapkan masa depan yang sepenuhnya didukung oleh energi ramah lingkungan” – CEO Suzlon Group, Tulsi Tanti -
Listrik Jadi
Kebutuhan Primer
Energi listrik menjadi salah satu kebutuhan bagi manusia. Listrik menjadi sumber daya paling ekonomis untuk menggerakkan berbagai sektor kehidupan. Listrik tak lagi bertindak sebagai penyokong beberapa aktivitas, tetapi kini berperan sebagai penggerak utama yang tidak bisa tergantikan.
Direktur Jenderal (Dirjen) Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, kebutuhan listrik di Indonesia mencapai 1.172 kilowatt per jam/kapita dan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 5,3 persen pada 2023.
Sementara itu, Our World in Data mencatat sekitar 86,95 persen dari total produksi listrik Indonesia pada 2020 berasal dari bahan bakar fosil. Sayangnya, penggunaan energi fosil itu diketahui terus melahirkan beragam dampak serius terhadap lingkungan, seperti pemanasan global (global warming), hujan asam, hingga di ambang nyata perubahan iklim (climate change).
Apabila ditelisik, Presiden Joko Widodo alias Jokowi menyatakan pemerintah optimistis menargetkan implementasi energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2024. Akan tetapi, Koordinator Investasi dan Kerja Sama Bionergi Kementerian ESDM Trois Dilisusendi menyebut pemanfaatan EBT di Indonesia baru 12 giga Watt atau sebesar 0,3 persen.
“Dengan angka tersebut, Indonesia baru memanfaatkan sebesar 0,3 persen sumber EBT,” ucap Trois saat acara Indonesia Renewable Energy Investment Summit (IREIS) di Hotel Pullman Jakarta, Senin, 13 November 2023, dikutip dari jpnn.com.
Secercah
Harapan dari Energi Terbarukan
Meskipun masih berada di bawah 1 persen dan tertinggal di antara
negara-negara lain, tentu Indonesia masih memiliki peluang untuk memanfaatkan
EBT. Potensi EBT Tanah Air mencapai 3.687 giga Watt, yang terdiri dari:
- Potensi energi radiasi
surya atau sinar matahari sebesar 3.294 gigawatt.
- Potensi hidro atau air
sebesar 57 gigawatt.
- Potensi bayu atau angin
sebesar 155 gigawatt.
- Potensi panas bumi
sebesar 23 gigawatt.
- Potensi laut sebesar 63
gigawatt.
- Serta potensi uranium 89.483 ton dan thorium sebesar 143.234 ton.
Lantas, apa saja manfaat dari implementasi EBT?
1.
Ekonomi
Secara ekonomi, proyek pembangunan pembangkit listrik dari EBT dapat diperbaharui, sehingga jelas dapat menguntungkan karena ketersediaannya yang berkelanjutan (sustainable). Selain itu, EBT dapat memberikan dampak positif dalam jangka panjang lantaran lebih efisien dari segi biaya.
2.
Sosial
Penggunaan EBT secara masif tentu dapat menggugah kebiasaan masyarakat
yang dulunya ketergantungan terhadap energi fosil menjadi berorientasi pada
energi ramah lingkungan. Perubahan itu mau tak mau akan menggeser aktivitas
masyarakat yang hanya berbasis pada ekonomi menjadi menjunjung tinggi
kemaslahatan alam.
3.
Lingkungan
Salah satu manfaat dari implementasi EBT yang tidak dapat dihindari adalah pemulihan alam. Berbagai dampak negatif dari penggunaan energi fosil, mulai dari polusi air, udara, dan pencemaran tanah tentu akan berkurang. Efek jangka panjangnya akan menekan percepatan perubahan iklim.
Limbah Tambak
Udang Jadi Energi Ramah Lingkungan
Selain berasal dari sumber daya yang tersedia di alam, EBT juga dapat dihasilkan dari bahan-bahan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, salah satunya limbah tambak udang. Limbah budidaya udang mengandung senyawa nitrogen mencapai 92 persen, fosfor 51 persen, dan 41 persen bahan organik lainnya.
Limbah tambak udang tersebut berpotensi menjadi energi listrik alternatif bertenaga mikroba yang dikenal dengan istilah Microbial Fuel Cell (MFC). Melansir dari Jurnal Riset Kimia (2022) karya Alif dkk, limbah budidaya udang dapat menghasilkan energi listrik sebesar 0,39 volt.
Mikroorganisme penghasil listrik (elektrogenik) pada limbah cair organik budidaya udang meliputi Escherichia coli, Geobacter sp., dan Shewanella sp. Bakteri-bakteri tersebut dapat ditemukan pada sedimen atau bagian dasar lumpur kolam budidaya udang.
Prinsip kerja dari sistem MFC adalah bakteri pada reaktor akan memproduksi elektron. Selanjutnya, dipindah ke anoda dan dialirkan menuju katoda yang terhubung oleh perangkat konduktivitas untuk menghasilkan listrik.
Menurut Vietnamnet, sekelompok tim peneliti dari Kyushu University, Jepang dan HCM City National University’s Nanotechnology Lab (LNT) berhasil mengimplementasikan proyek pembangkit listrik dari biomassa limbah tambak udang di provinsi Ben Tre. Hasilnya, efisiensi energi listrik 45 persen lebih besar dibandingkan sel bahan bakar lainnya.
Siapa sangka, jika limbah tambak udang bisa menjadi pundi-pundi uang. Maka dari itu, coba tengok di sekeliling kita, mungkin ada potensi EBT yang tak kalah menarik. Bagaimana menurutmu?
#EcoBloggerSquad
Sumber:
https://bestjournal.untad.ac.id/index.php/kovalen/article/view/16033
https://m.jpnn.com/news/indonesia-pasang-target-pakai-ebt-23-persen-pada-2025
https://vietnamnet.vn/en/scientists-generate-electricity-from-shrimp-pond-waste-E148590.html